TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18
Beberapa prajurit Mataram telah mengangkat tubuh Untara yang masih
terlihat lemah dan mengusungnya masuk pada sebuah kereta yang telah di
persiapkan, Agung Sedayu memandang wajah kakanya dengan perasaan getir,
sementara Panembahan Pamungkas telah berbisik dan mengatakan sesuatu
kepada Untara, “Aku berubah pikiran biarlah angger Sedayu pergi ke
Mataram bersamamu, aku akan kembali ke Muria, untuk sementara lupakan Ki
Puspa Ngasem, pusatkan perhatian kepada kesembuhan wadagmu anakmas,
beberapa ramuan telah aku selipkan pada ikat pinggangmu dan nanti selama
di Mataram angger Sedayu akan meminta seorang tabib Kepatihan untuk
membuatkan ramuan atas petunjukku, semoga semua berjalan lancar dan
anakmas akan pulih seperti sediakala.”
Untara dengan mata redup
memandang wajah tua itu, sikap Panembahan Pamungkas benar-benar
menyejukkan hatinya, bagai sikap seorang ayah yang benar-benar ingin
melindungi anak-anaknya, seolah ayah Sadewa telah menjelma menjadi
seorang Panembahan dan berdiri di sebelahnya dan tak terasa tangan
Untara yang kekar itu telah meraih tangan tua itu dan berkata, “Semoga
aku tidak membuat guru Panembahan kecewa dan pada sisa umurku aku
berjanji akan membahagiakan Panembahan semampu dan sekuat tenagaku.”
Panembahan tua itu hanya tersenyum, wajah Untara tak ubahnya wajah
Sadewa muridnya, “Semoga cepat sembuh anakmas, biarlah aku menunggu
persoalan adikmu, jika semua selesai maka aku akan segera pergi ke
Mataram, kita akan berkelana, aku akan mengawal secara utuh sepasang
garuda kebanggaanku.”
Dan kepada Agung Sedayu orang tua itu
berkata, “Pergilah ke Mataram, ceritakan apa adanya kepada Ki Patih
Mandaraka dan setelah itu aku menunggumu di bukit Maguwo.”
Ki Tumenggung Sapta Hasta menganggukkan kepalanya, “Aku akan secepatnya menemui guru.”
“Pergilah.”
Agung Sedayu dengan taklim memohon diri kepada Kanjeng Sunan Muria dan
selanjutnya mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak
membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu
sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu,
sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi
terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.”
Ki Puspa
Ngasem hanya menganggukkan kepalanya, maka perpisahan itupun segera
terjadi, sekelompok prajurit Mataram telah meninggalkan tempat itu dan
kembali ke kota Raja dan dalam perjalanannya ternyata Panji Tohpati
telah menggeram dan hatinya telah melontarkan sumpah serapah yang tidak
berujung pangkal, kesempatan yang di duga telah di depan matanya, namun
kini sebuah hambatan besar telah terbentang.
“Gila siluman itu
ada di rombongan ini, apa yang harus aku perbuat?” pertanyaan itu
bersarang di dada Panji Tohpati sepanjang perjalanan.
Di tempat
terpisah Panembahan Pamungkas dan Kanjeng Sunan Muria juga telah
meninggalkan Ki Puspa Ngasem dan cucunya kembali ke Muria.
Keheningan telah hadir kembali di dalam benak dan dada orang dari lembah
Wonogiri itu, sementra cucunya telah duduk sembari menundukkan
kepalanya, beberapa persoalan melintas di benak Bagus Prapat, tetapi
anak muda itu tak mampu mengurainya dan satu hal yang telah di
mengertinya bahwa ilmunya adalah sebuah tataran yang masih sangat
dangkal dan menggelikan diantara belantara ilmu kanuragan sebenarnya.
Agung Sedayu mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu, sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.
BalasHapus