Selasa, 15 Desember 2015

SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18

TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18


Beberapa prajurit Mataram telah mengangkat tubuh Untara yang masih terlihat lemah dan mengusungnya masuk pada sebuah kereta yang telah di persiapkan, Agung Sedayu memandang wajah kakanya dengan perasaan getir, sementara Panembahan Pamungkas telah berbisik dan mengatakan sesuatu kepada Untara, “Aku berubah pikiran biarlah angger Sedayu pergi ke Mataram bersamamu, aku akan kembali ke Muria, untuk sementara lupakan Ki Puspa Ngasem, pusatkan perhatian kepada kesembuhan wadagmu anakmas, beberapa ramuan telah aku selipkan pada ikat pinggangmu dan nanti selama di Mataram angger Sedayu akan meminta seorang tabib Kepatihan untuk membuatkan ramuan atas petunjukku, semoga semua berjalan lancar dan anakmas akan pulih seperti sediakala.”

Untara dengan mata redup memandang wajah tua itu, sikap Panembahan Pamungkas benar-benar menyejukkan hatinya, bagai sikap seorang ayah yang benar-benar ingin melindungi anak-anaknya, seolah ayah Sadewa telah menjelma menjadi seorang Panembahan dan berdiri di sebelahnya dan tak terasa tangan Untara yang kekar itu telah meraih tangan tua itu dan berkata, “Semoga aku tidak membuat guru Panembahan kecewa dan pada sisa umurku aku berjanji akan membahagiakan Panembahan semampu dan sekuat tenagaku.”

Panembahan tua itu hanya tersenyum, wajah Untara tak ubahnya wajah Sadewa muridnya, “Semoga cepat sembuh anakmas, biarlah aku menunggu persoalan adikmu, jika semua selesai maka aku akan segera pergi ke Mataram, kita akan berkelana, aku akan mengawal secara utuh sepasang garuda kebanggaanku.”
Dan kepada Agung Sedayu orang tua itu berkata, “Pergilah ke Mataram, ceritakan apa adanya kepada Ki Patih Mandaraka dan setelah itu aku menunggumu di bukit Maguwo.”

Ki Tumenggung Sapta Hasta menganggukkan kepalanya, “Aku akan secepatnya menemui guru.”
“Pergilah.”

Agung Sedayu dengan taklim memohon diri kepada Kanjeng Sunan Muria dan selanjutnya mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu, sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.”

Ki Puspa Ngasem hanya menganggukkan kepalanya, maka perpisahan itupun segera terjadi, sekelompok prajurit Mataram telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke kota Raja dan dalam perjalanannya ternyata Panji Tohpati telah menggeram dan hatinya telah melontarkan sumpah serapah yang tidak berujung pangkal, kesempatan yang di duga telah di depan matanya, namun kini sebuah hambatan besar telah terbentang.

“Gila siluman itu ada di rombongan ini, apa yang harus aku perbuat?” pertanyaan itu bersarang di dada Panji Tohpati sepanjang perjalanan.

Di tempat terpisah Panembahan Pamungkas dan Kanjeng Sunan Muria juga telah meninggalkan Ki Puspa Ngasem dan cucunya kembali ke Muria.

Keheningan telah hadir kembali di dalam benak dan dada orang dari lembah Wonogiri itu, sementra cucunya telah duduk sembari menundukkan kepalanya, beberapa persoalan melintas di benak Bagus Prapat, tetapi anak muda itu tak mampu mengurainya dan satu hal yang telah di mengertinya bahwa ilmunya adalah sebuah tataran yang masih sangat dangkal dan menggelikan diantara belantara ilmu kanuragan sebenarnya.

1 komentar:

  1. Agung Sedayu mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu, sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.

    BalasHapus