Sabtu, 12 Desember 2015

SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 17

TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 17


Sebenarnyalah suara derap kuda itu semakin jelas terdengar, gemeretak perpuluh pasang kaki kuda menghantam bumi dengan irama yang ajeg, seorang yang berdada bidang nampak berpacu di paling depan, selempang warna merah telah menandakan jenjang keprajuritannya dalam tugas sebenarnya sebagai prajurit Mataram.

Dengan satu lompatan ringan senopati itu turun dari kudanya dan memberi salam kepada semua yang hadir menunggu Ki Tumenggung Untaradira yang masih terduduk lemah.

“Panji Tohpati datang menjemput Ki Tumenggung Untaradira, perintah datang dari Kepatihan Mataram,” Ucap senopati setengah baya itu dengan suara yang berat.

Kanjeng Sunan Muria justru bergeser surut dan memberi kesempatan kepada Panembahan Pamungkas untuk menjawab perkataan senopati yang baru datang itu.

“Angger Sedayu uruslah sebagaimana mestinya, aku merasa tidak pantas berhadapan dengannya, biarlah kami para orang tua ini menepi barang sejenak,” kata Panembahan Pamungkas perlahan.

Sejenak Tumenggung Sapta Hasta memandang wajah kakaknya, senyuman kecil Untaradira telah membuat hatinya mengembang, bagi suami Sekar Mirah Untaradira adalah segala-galanya, seorang kakak yang sekaligus pengganti kedua orang tuanya dan dengan langkah kecil maka murid Kyai Gringsing itu telah bergeser mendekati Panji Tohpati, “Terima kasih Panji Tohpati, kami semua akan menyerahkan kakang Untara kepada prajurit Mataram yang seterusnya akan di bawa menuju istana Kepatihan untuk mendapatkan perawatan seperlunya.”

Panji Tohpati tersenyum dan membungkukkan badannnya, seraya berkata, “Kami akan mengurus dan menyerahkan Ki Tumenggung Untaradira kepada Ki Patih Mandaraka, tiada kewajiban lainnya kecuali itu.”

“Lakukan perintah itu sebaik-baiknya Panji Tohpati.” Seru Tumenggung Sapta Hasta.

“Baiklah Ki Tumenggung, namun siapakah yang berani dan sudah mengalahkan Ki Tumenggung Untaradira yang perkasa itu?” Tanya Panji Tohpati kemudian.

Sebuah pertanyaan yang membuat hati Agung Sedayu berdebar-debar, dengan cepat telah dicari jawabannya, “Kami tidak mengetahuinya dengan jelas siapa yang menyerang kakang Untara, mereka berkelompok dan saat kami datang mereka telah lenyap melarikan diri.”

“Jadi mereka menyerang dengan sekelompok orang pilihan dan kemudian menghilang saat melihat Ki Tumenggung datang?”

“Benar, sudahlah! Besok aku akan menjelaskan semuanya kepada Ki Patih Mandaraka, tugasmu adalah membawanya kembali ke Mataram, itu saja.”

“Apkah seorang Tumenggung demikian mudahnya di kalahkan oleh sekelompok orang atau mungkin Ki Tumenggung kurang waspada, kemungkinan lain adalah Ki Tumenggung Untaradira memang harus meningkatkan lagi kemampuannya, sebab saat ini banyak sekali Tumenggung yang berpangkat serta berderajat namun kurang memiliki kemampuan.” kata Panji Tohpati perlahan.

Tumenggung Sapta Hasta segera mengerutkan keningnya dalam-dalam, hatinya yang telah mulai terang telah mendapat ujian sekali lagi, “Panji Tohpati, jaga bicaramu! Jangan mencoba menilai siapa kami, bukanlah menjadi urusanmu, kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenali orang lain, di belakangku berdiri beberapa orang yang sangat aku hormati, Kanjeng Sunan Muria dan Panembahan Pamungkas, jangan memancing keadaan yang sama sekali tidak engkau mengerti, atau aku akan melenyapkan seluruh pasukanmu dan mengirim pulang namamu.”

Hentakan kata Senopati pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar membuatnya tersadar, matanya tiba-tiba terbelalak ketika ingatannya kembali pada kewajaran, Agung Sedayu adalah hantu bagi setiap musuh Mataram.

“Ampun, mohon ampun Ki Tumenggung, hamba hanya terpancing oleh perasaan marah kepada para penyerang Ki Tumenggung Untaradira.” Ujarnya cepat dan tersendat-sendat.

“Lakukan tugasmu sebaik-baiknya, aku akan melihat hasilnya.”

“Siyaga Ki Tumenggung.”

6 komentar:

  1. “Panji Tohpati, jaga bicaramu! Jangan mencoba menilai siapa kami, bukanlah menjadi urusanmu, kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenali orang lain, di belakangku berdiri beberapa orang yang sangat aku hormati, Kanjeng Sunan Muria dan Panembahan Pamungkas, jangan memancing keadaan yang sama sekali tidak engkau mengerti, atau aku akan melenyapkan seluruh pasukanmu dan mengirim pulang namamu.”

    BalasHapus
  2. Saya suka cerita ini, tetapi sayangnya kok dimulai dari jilid 20, kenapa?

    BalasHapus
  3. agak bingung memulai bacanya.....kok lsg jilid 10...

    BalasHapus