TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 24
“Hem.., inilah ciri Harya Sadewa yang sebenarnya, pedang Puspa Jati
Wangi benar-benar ada padanya,” Panembahan Pamungkas membathin,
dadanyapun terasa berdebar-debar.
“Luar biasa, tenyata pedang
Kyai Puspa ada padamu Panca Sadewa,” berkata Kyai Gringsing perlahan,
bersamaan itu sebuah ingatan akan satu peristiwa telah kembali muncul,
bahwa pengenalan terhadap perguruan Sadewa lewat cerita kakeknya telah
terbukti kebenarannya, ayah Untara belumlah menguasai ilmu itu, meski
bersenjata pedang, namun Ki Sadewa nampaknya masih harus menapak lebih
tinggi lagi, benturan dengan tongkat baja putih milik Mentahun dan
sebuah dorongan yang kuat telah merusak jaringan dada saat itu dan
benar-benar membuat muridnya jatuh, kehadiran manusia bertopeng yang
terlambat beberapa saat, sebuah hentakan cambuknya yang dilambari
kekuatan puncak Windujati telah memberi kesempatan kepada Harya Sadewa
untuk menolong putranya, sementara ayah Sedayu telah dibawanya
menyingkir sampai ajal datang menjemputnya.
“Benar Panembahan,
ayah Sadewa telah mewariskannya kepadaku, sedangkan Kitab Jatiwangi
telah diserahkan kepada adikku yang mana keberadaannya hingga kini
kurang kumengerti, seandainya saja aku dapat bertemu dengan Nyi Sadewa
maka semuanya akan menjadi jelas, nampaknya semua menjadi kabur bagiku,
aku telah mendengar kepergian adikku ipar tak lama setelah kematian
suaminya.”
Panembahan Pamungkas terlihat menarik nafas
dalam-dalam, kepedihan dihatinya telah kembali hadir, luka lama yang
telah menghilang itu telah muncul kembali.
“Angger Sedayu,
semuanya terserah kepadamu, apakah engkau akan menyerah ataukah engkau
akan terus bertekad menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya, sebagai
manusia bertopeng aku telah berusaha sekuat tenagaku, sebagai manusia
bercambuk akupun sempat menyusul Mentahun dan membuat luka arang
kranjang ditubuhnya, namun usahaku untuk menghabisinya terhenti oleh
seseorang yang tak kukenal,” kata Panembahan Pamungkas kemudian,
terbersit perasaan menyesal yang sangat dalam, nyawa muridnya tetap saja
tak terselamatkan.
“Guru Panembahan, tentu aku sama sekali tidak
menyesali kepergian ayah Sadewa, aku juga tidak pernah menyalahkan
siapapun, sebab aku sendiri tidak pernah mengerti akan sebab kematian
ayah, kini yang dapat kulakukan adalah menjunjung tinggi kehormatan
guru, seorang yang telah mengasuhku hingga kini, yang ternyata tidak
saja sebagai guruku tetapi juga guru bagi ayah Sadewa, maka ijinkalah
aku untuk membuktikan diri sebagai murid yang tidak akan mengecewakan
guru dan sekaligus pepundennya.”
“Hem..,” Kyai Gringsing mendesah perlahan.
Sementara itu Agung Sedayu telah mengurai senjata yang telah lama tidak
dipergunakannya, seuntai cambuk berjuntai panjang ciri perguruan orang
bercambuk, senjata lentur yang membuat dada Ki Puspa Ngasem berdetak
kencang, orang tua itu sama sekali tidak pernah menduga bahwa adik
Untara itu akan bersenjatakan cambuk dan segera saja gambaran manusia
aneh kembali hadir di pelupuk matanya, cerita seorang Harya Sadewa
seolah datang begitu saja, pemuda itu telah hadir di depannya.
“Aku hanya ingin memperingatkanmu angger Sapta Hasta, bahwa Kyai Puspa
Jati Wangi bukanlah sejenis pedang yang biasa dan pernah engkau saksikan
sebelumnya.”
Agung Sedayu pun tersenyum dan menyahut, “Cambukku
juga bukan cambuk gembala yang biasa di temui di pasar sapi, namun
cambuk ini adalah cambuk warisan Empu Windujati yang didalamnya mengalir
jiwa Ra Mada, guru Panembahan Pamungkas yang telah menyimpannya sebelum
memberikannya kepadaku.”
Tentu saja kata-kata Agung Sedayu
sangat menggetarkan dada lawannya, “Umurnya tentu belum cukup untuk
mendukung kebenaran semua kalimatnya,” Kyai Puspa Ngasem membathin.
Rabu, 16 Desember 2015
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 23
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 23
Kakak dari Ki Sadewa itu bahkan telah merasakan besarnya tenaga cadangan yang berhasil diungkap oleh lawannya, imbangan kecepatan yang tidak akan berguna jika tidak dilandasi oleh kekuatan yang mengagumkan.
...Lanjutkan Membaca
Cek pada https://www.facebook.com/groups/843194215799659/
Kakak dari Ki Sadewa itu bahkan telah merasakan besarnya tenaga cadangan yang berhasil diungkap oleh lawannya, imbangan kecepatan yang tidak akan berguna jika tidak dilandasi oleh kekuatan yang mengagumkan.
...Lanjutkan Membaca
Cek pada https://www.facebook.com/groups/843194215799659/
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 22
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 22
Dan beberapa saat kemudian Kyai Puspa Ngasem pun telah bergeser maju, pandangan matanya sedikit memancarkan keheranan, menatap wajah Agung Sedayu yang bersih dan tenang ternyata telah menimbulkan persoalan sendiri baginya, tiba-tiba detak jantungnya telah berdetak liar dan sulit untuk di kendalikan.
“Anak ini menyimpan sesuatu yang tidak aku mengerti,” desah Panca Sadewa dalam hatinya.
Di pinggir, Bagus Prapat telah menggeram, hatinya menjadi tidak sabar melihat sikap kakeknya, pikirannya telah bertambah kacau saat melihat wajah kakeknya menampakkan keraguan.
“Aku akan segera mulai, bersiaplah Ki Tumenggung, perguruan Harya Sadewa bukanlah perguruan yang kejam sebagaimana dituduhkan banyak orang kepada kami, bersiaplah.”
“Terima kasih Kyai, aku telah bersiap.”
Keduanya telah bersiap dan saling berhadapan, sementara itu Pangeran Pringgalaya nampak tegang melihat sikap murid Harya Sadewa.
Kyai Puspa Ngasem telah menggerakkan tangan kanannya merapat dan menempel di depan dada dan tangan kirinya telah meraba lambungnya, sebuah sikap untuk mengungkap tenaga cadangan yang tersimpan di dalam diri, sedangkan Agung Sedayu telah merapatkan kedua telapak tangannya dan saling menggosok dan pandangan mata menatap tajam pada tubuh lawannya.
Secepat tarikan nafas maka tubuh Kyai Puspa telah dengan sangat cepat menyergap sosok Agung Sedayu yang masih terlihat diam itu, serangan yang datang sangat cepat, tangannya bergerak menggapai dada, andaikan saja yang berdiri itu seorang Untaradira tentu tidak ada kesempatan untuk menghindar kecuali meyilangkan tangannya di muka dada, tetapi yang berdiri itu adalah murid kinasih Panembahan Pamungkas, satu gerakan yang melebihi kecepatan lawannya dan ternyata Agung Sedayu telah lenyap bergeser bahkan tangan kirinya telah berkelebat menghantam bahu kiri lawannya dengan dahsyat, sentuhan pertama yang membuat mata orang tua itu terbelalak kaget, tubuhnya terdorong kesamping kanan.
“Hem.., luar biasa anak muda.”
Agung Sedayu hanya berdiam diri dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.
“Terima kasih engkau telah memperingatkanku dan aku akan segera bersungguh-sungguh, bersiaplah.”
Sebuah gerakan yang sangat cepat telah kembali datang melibat Agung Sedayu tanpa ampun, sepuluh pasang tangan telah bergerak bersamaan, melibat dan mengurung dengan kekuatan yang sangat besar, tetapi serangan itu nampaknya masih membentur sesuatu yang sulit digambarkan, seolah tanpa melihat, kedua tangan Ki Tumenggung Sapta Hasta telah bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan, mengejar dan menangkis setiap gempuran yang datang, selanjutnya pertempuran itu telah membuat Bagus Prapat kebingungan dan dengan serta merta anak muda itu bergeser maju dengan mulut ternganga.
Ternyata Ki Puspa Ngasem telah memeras tenaganya melebihi yang diperkirakan, kecepatan gerak Agung Sedayu yang dilambari oleh ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna benar-benar menumbuhkan persoalan tersendiri, beberapa sentuhan tajam pada tubuhnya juga telah memberikan tanda akan kelebihan lawannya yang masih nampak muda itu.
“Hem, Untara pada tingkatan ini sudah terhenti, tetapi adiknya masih juga mampu mengimbangiku bahkan telah berhasil meraba kulitku,” kata Kyai Puspa Ngasem dalam hatinya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 22
Dan beberapa saat kemudian Kyai Puspa Ngasem pun telah bergeser maju, pandangan matanya sedikit memancarkan keheranan, menatap wajah Agung Sedayu yang bersih dan tenang ternyata telah menimbulkan persoalan sendiri baginya, tiba-tiba detak jantungnya telah berdetak liar dan sulit untuk di kendalikan.
“Anak ini menyimpan sesuatu yang tidak aku mengerti,” desah Panca Sadewa dalam hatinya.
Di pinggir, Bagus Prapat telah menggeram, hatinya menjadi tidak sabar melihat sikap kakeknya, pikirannya telah bertambah kacau saat melihat wajah kakeknya menampakkan keraguan.
“Aku akan segera mulai, bersiaplah Ki Tumenggung, perguruan Harya Sadewa bukanlah perguruan yang kejam sebagaimana dituduhkan banyak orang kepada kami, bersiaplah.”
“Terima kasih Kyai, aku telah bersiap.”
Keduanya telah bersiap dan saling berhadapan, sementara itu Pangeran Pringgalaya nampak tegang melihat sikap murid Harya Sadewa.
Kyai Puspa Ngasem telah menggerakkan tangan kanannya merapat dan menempel di depan dada dan tangan kirinya telah meraba lambungnya, sebuah sikap untuk mengungkap tenaga cadangan yang tersimpan di dalam diri, sedangkan Agung Sedayu telah merapatkan kedua telapak tangannya dan saling menggosok dan pandangan mata menatap tajam pada tubuh lawannya.
Secepat tarikan nafas maka tubuh Kyai Puspa telah dengan sangat cepat menyergap sosok Agung Sedayu yang masih terlihat diam itu, serangan yang datang sangat cepat, tangannya bergerak menggapai dada, andaikan saja yang berdiri itu seorang Untaradira tentu tidak ada kesempatan untuk menghindar kecuali meyilangkan tangannya di muka dada, tetapi yang berdiri itu adalah murid kinasih Panembahan Pamungkas, satu gerakan yang melebihi kecepatan lawannya dan ternyata Agung Sedayu telah lenyap bergeser bahkan tangan kirinya telah berkelebat menghantam bahu kiri lawannya dengan dahsyat, sentuhan pertama yang membuat mata orang tua itu terbelalak kaget, tubuhnya terdorong kesamping kanan.
“Hem.., luar biasa anak muda.”
Agung Sedayu hanya berdiam diri dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.
“Terima kasih engkau telah memperingatkanku dan aku akan segera bersungguh-sungguh, bersiaplah.”
Sebuah gerakan yang sangat cepat telah kembali datang melibat Agung Sedayu tanpa ampun, sepuluh pasang tangan telah bergerak bersamaan, melibat dan mengurung dengan kekuatan yang sangat besar, tetapi serangan itu nampaknya masih membentur sesuatu yang sulit digambarkan, seolah tanpa melihat, kedua tangan Ki Tumenggung Sapta Hasta telah bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan, mengejar dan menangkis setiap gempuran yang datang, selanjutnya pertempuran itu telah membuat Bagus Prapat kebingungan dan dengan serta merta anak muda itu bergeser maju dengan mulut ternganga.
Ternyata Ki Puspa Ngasem telah memeras tenaganya melebihi yang diperkirakan, kecepatan gerak Agung Sedayu yang dilambari oleh ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna benar-benar menumbuhkan persoalan tersendiri, beberapa sentuhan tajam pada tubuhnya juga telah memberikan tanda akan kelebihan lawannya yang masih nampak muda itu.
“Hem, Untara pada tingkatan ini sudah terhenti, tetapi adiknya masih juga mampu mengimbangiku bahkan telah berhasil meraba kulitku,” kata Kyai Puspa Ngasem dalam hatinya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 21
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 21
Terlihat Panembahan Pamungkas berdiri menghadap dua yang berasal dari Lembah Wonogiri, orang tua itu tidak banyak menyatakan pendapatnya, ia lebih banyak diam, berbekal keterangan dari Sunan Muria maka guru Agung Sedayu itu mencoba memahami sikap yang melatarbelakangi orang yang bernama Panca Sadewa itu, sementara hatinya telah siap menerima kedatangan muridnya, kelambatan yang sudah direncanakan olehnya beserta Ki Juru Mertani dan sebenarnyalah tidak lama kemudian terdengar ringkik kuda yang menggetarkan malam, menegur sempurna gumuk Maguwo yang telah lama menunggu.
“Selamat malam guru, selamat malam Kyai Puspa Ngasem dan Bagus Prapat, mohon dimaafkan bahwa aku telah terlambat datang.” sapa pembuka dari Agung Sedayu meluncur lancar.
Raden Pamungkas tersenyum, namun tidak demikian dengan Bagus Prapat, anak muda itu terlihat bergeser maju dan berkata, “Aku telah mengira, bahwa engkau pasti datang terlambat, perhitungan yang picik, menilai kejantanan dan kemampuan guru sama dengan kemampuan para penjahat yang selama ini mengganggumu.”
Agung Sedayu telah meloncat turun dan menjabat tangan guru bahkan menciumnya, dengan tidak tergesa-gesa membalikkan badannya dan berkata,”Anak muda, kebiasaanmu bersikap kasar terhadap orang lain sama sekali tidak menguntungkan, cobalah berbuat kebaikan dengan mulai mengendalikan hatimu.”
“Persetan, katakan yang sebenarnya! Bahwa engkau akan menghindari pertempuran dengan guru, Ki Tumenggung Untara telah dengan mudah dikalahkan oleh guru, apalagi hanya seorang adiknya.”
Agung Sedayu dan Kyai Gringsing nampak mengerutkan keningnya, tidak semata-mata karena ucapan Bagus Prapat tetapi karena mereka menangkap desir halus kehadiran seseorang yang baru saja datang dan berdiri disamping mereka, seorang anak muda dengan tumbak Pasir Sewukir di tangannya.
“Anak muda, aku adalah putra Prabu Hanyakrawati, namaku Pringgalaya dan aku murid dari Ki Tumenggung Sapta Hasta yang engkau remehkan itu, bagaimana jika aku yang menggantikan perannya, mencincangmu di alun-alun Mataram dan membawa kakekmu menghadap Ki Patih Mandaraka? Kesombonganmu telah menggelitik darahku.” kata Pangeran muda.
Panembahan Pamungkas tertawa kecil, “Selamat datang Pangeran, nampaknya perjalanan pendek ini menguras tenaga Pangeran Pringgalaya.”
Pangeran muda membalas dengan sebuah senyuman, selanjutnya, “Ki Patih telah menahanku di istana Ramanda, namun aku mempunyai cara sendiri untuk menyusul Ki Tumenggung, aku tidak akan melewatkan kesempatan ini, sembari menunggu kesembuhan Ki Untaradira maka aku akan menimba ilmu itu Panembahan.”
Agung Sedayu pun tak dapat menahan tertawanya, “Apakah Pangeran mas Rangsang juga berkeinginan demikian? Aku akan kerepotan membagi waktuku.”
Pembicaraan yang mengalir lancar itu telah menampar muka Bagus Prapat, anak muda itu telah merasakan perbawa orang yang membawa tumbak pendek itu, sementara Ki Puspa Ngasem telah menguasai diri sepenuhnya.
“Selamat datang Pangeran, tentu aku tidak berani melanggar tatanan Mataram, aku hanya menyatakan bahwa diriku telah siap untuk melayani keinginan Ki Tumenggung Sapta Hasta,” kata kakek Bagus Prapat.
Pangeran muda itu memandang tajam orang tua itu sejenak dan sahutnya,”Kyai jangan memutar balikkan kata-kata dan membohongiku, aku mengenal sifat dan sikap guruku.”
“Hem..,” Kyai Puspa Ngasem mendesah perlahan.
Sementara Panembahan Pamungkas telah mengambil sikap dan berkata kepada muridnya, “Angger Sedayu, ambilah tantangannya, aku dan pangeran Pringgalaya akan menjadi saksi, jika terjadi kecurangan maka kami tidak akan segan-segan turun tangan dan menghukum siapapun yang memulainya.”
Agung Sedayu mengangguk hormat dan telah bergeser beberapa langkah kedepan mendekati dua orang dari selatan itu
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 21
Terlihat Panembahan Pamungkas berdiri menghadap dua yang berasal dari Lembah Wonogiri, orang tua itu tidak banyak menyatakan pendapatnya, ia lebih banyak diam, berbekal keterangan dari Sunan Muria maka guru Agung Sedayu itu mencoba memahami sikap yang melatarbelakangi orang yang bernama Panca Sadewa itu, sementara hatinya telah siap menerima kedatangan muridnya, kelambatan yang sudah direncanakan olehnya beserta Ki Juru Mertani dan sebenarnyalah tidak lama kemudian terdengar ringkik kuda yang menggetarkan malam, menegur sempurna gumuk Maguwo yang telah lama menunggu.
“Selamat malam guru, selamat malam Kyai Puspa Ngasem dan Bagus Prapat, mohon dimaafkan bahwa aku telah terlambat datang.” sapa pembuka dari Agung Sedayu meluncur lancar.
Raden Pamungkas tersenyum, namun tidak demikian dengan Bagus Prapat, anak muda itu terlihat bergeser maju dan berkata, “Aku telah mengira, bahwa engkau pasti datang terlambat, perhitungan yang picik, menilai kejantanan dan kemampuan guru sama dengan kemampuan para penjahat yang selama ini mengganggumu.”
Agung Sedayu telah meloncat turun dan menjabat tangan guru bahkan menciumnya, dengan tidak tergesa-gesa membalikkan badannya dan berkata,”Anak muda, kebiasaanmu bersikap kasar terhadap orang lain sama sekali tidak menguntungkan, cobalah berbuat kebaikan dengan mulai mengendalikan hatimu.”
“Persetan, katakan yang sebenarnya! Bahwa engkau akan menghindari pertempuran dengan guru, Ki Tumenggung Untara telah dengan mudah dikalahkan oleh guru, apalagi hanya seorang adiknya.”
Agung Sedayu dan Kyai Gringsing nampak mengerutkan keningnya, tidak semata-mata karena ucapan Bagus Prapat tetapi karena mereka menangkap desir halus kehadiran seseorang yang baru saja datang dan berdiri disamping mereka, seorang anak muda dengan tumbak Pasir Sewukir di tangannya.
“Anak muda, aku adalah putra Prabu Hanyakrawati, namaku Pringgalaya dan aku murid dari Ki Tumenggung Sapta Hasta yang engkau remehkan itu, bagaimana jika aku yang menggantikan perannya, mencincangmu di alun-alun Mataram dan membawa kakekmu menghadap Ki Patih Mandaraka? Kesombonganmu telah menggelitik darahku.” kata Pangeran muda.
Panembahan Pamungkas tertawa kecil, “Selamat datang Pangeran, nampaknya perjalanan pendek ini menguras tenaga Pangeran Pringgalaya.”
Pangeran muda membalas dengan sebuah senyuman, selanjutnya, “Ki Patih telah menahanku di istana Ramanda, namun aku mempunyai cara sendiri untuk menyusul Ki Tumenggung, aku tidak akan melewatkan kesempatan ini, sembari menunggu kesembuhan Ki Untaradira maka aku akan menimba ilmu itu Panembahan.”
Agung Sedayu pun tak dapat menahan tertawanya, “Apakah Pangeran mas Rangsang juga berkeinginan demikian? Aku akan kerepotan membagi waktuku.”
Pembicaraan yang mengalir lancar itu telah menampar muka Bagus Prapat, anak muda itu telah merasakan perbawa orang yang membawa tumbak pendek itu, sementara Ki Puspa Ngasem telah menguasai diri sepenuhnya.
“Selamat datang Pangeran, tentu aku tidak berani melanggar tatanan Mataram, aku hanya menyatakan bahwa diriku telah siap untuk melayani keinginan Ki Tumenggung Sapta Hasta,” kata kakek Bagus Prapat.
Pangeran muda itu memandang tajam orang tua itu sejenak dan sahutnya,”Kyai jangan memutar balikkan kata-kata dan membohongiku, aku mengenal sifat dan sikap guruku.”
“Hem..,” Kyai Puspa Ngasem mendesah perlahan.
Sementara Panembahan Pamungkas telah mengambil sikap dan berkata kepada muridnya, “Angger Sedayu, ambilah tantangannya, aku dan pangeran Pringgalaya akan menjadi saksi, jika terjadi kecurangan maka kami tidak akan segan-segan turun tangan dan menghukum siapapun yang memulainya.”
Agung Sedayu mengangguk hormat dan telah bergeser beberapa langkah kedepan mendekati dua orang dari selatan itu
Selasa, 15 Desember 2015
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 20
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 20
“Ki Tumenggung Sapta Hasta, saatnya telah tiba bagimu, tembang tantangan yang telah hadir sebagai pertanda khusus bagi sepasang Garuda Nglayang untuk memulai tugasnya, kita semua tidak mengetahui bakal terjadi peristiwa seperti ini, aku tidak pernah menduga bahwa kepergian Untaradira ke Menoreh akan membawa goresan luka kewadagan yang cukup parah, aku tidak menyangka bahwa Sunan Muria hadir dan terlibat dengan keluarga besar Ki Sadewa, bahkan tidak mengerti akan terjadinya kesepakatan memperebutkan Untara sebagai murid, tetapi percayalah dengan perkataan rajamu, Sinuhun Prabu Hanyakrawati telah bertitah kepadaku bahwa memang sudah saatnya Mataram melepas sepasang burung kebanggaannya dan membiarkan terbang kemanapun, jika nantinya burung itu bisa kita lihat karena kegagahan serta kekuatannya maka sejatinya Mataram memang memiliki kekuatan yang patut di banggakan, namun sebaliknya jika Sepasang Garuda itu ternyata mudah di taklukkan maka sebaiknya Mataram harus mengkaji ulang tentang kemampuannya,” kata Ki Patih mandaraka saat duduk hanya berdua dengan Agung Sedayu.
“Hamba Ki Patih.”
“Justru perintah itu datang dengan ketegasan seorang Raja, diperintahkan kepada Sepasang Garuda itu untuk menundukkan siapa saja yang tidak mau mengakui Mataram, melibat siapa saja yang mengusik sendi-sendi kehidupan bebrayan nan agung dan mengertilah Ki Tumenggung, bahwa menguatkan peradaban tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan pikiran yang terlontar dengan kemampuan bicara saja, tidak bisa hanya mengucapkan dalil-dalil dan mengajak semua orang itu setuju dengan setiap gagasan kebaikan, namun peradaban harus di jaga dan di kawal dengan sebuah kekuatan yang mumpuni dan Mataram akan segera memujudkan kekuatan yang akan mengejutkan Jawadwipa,” sambung Ki Patih Mandaraka.
“Mohon doa restu Ki Patih,” suara Agung Sedayu terdengar perlahan.
“Demi Mataram, pergilah Ki Tumenggung Sapta Hasta, doa dan restuku akan mengiringi perjalananmu.”
“Sebentar lagi wayah sirep bocah, rupanya guru telah berada di tempat itu, hamba mohon diri Ki Patih Mandaraka.”
Sejenak kemudian, Sapta Hasta telah berdiri dan berjalan menuju kuda yang telah dipersiapkan oleh seorang pekatik, seekor kuda yang tegar, setegar kuda Untara yang bernama Werkudara.
“Jika saja hamba bisa melayani Ki Tumenggung setiap saat, maka hamba merasa telah menjadi orang paling bahagia di seluruh jagad,” kata abdi itu.
“Ah.., engkau terlalu mengada-ada, akulah yang tidak pantas mendapatkan pelayanan yang berlebihan, terima kasih, aku mohon diri, Ki Supara,” kata Agung Sedayu berpamitan.
Sementara dari pendapa Ki Juru Martani memperhatikan semuanya, nampak orang tua itu tersenyum bangga, Mataram tidaklah mempunyai banyak orang yang bersikap seperti adik Untara itu, seorang yang rendah hati dan mampu bergaul dengan segenap lapisan rakyat Mataram, menyenangkan dan lembut tutur bahasanya, “Anakku tentu harus belajar dari kebesaran jiwa dan pekerti seorang Agung Sedayu, ilmunya yang telah menggetarkan langit tidak membuatnya angkuh dan berubah pandangan terhadap sesama.” Dan orang tua itu terlihat melambaikan tangan ketika melihat Agung Sedayu berlalu dengan membungkukkan badannya.
Sejatinya setelah keluar dari istana Mataram maka kuda itu telah berderap semakin lama semakin kencang, langkah panjang dan cepat telah mengantarkan penunggangnya membelah angin malam, Sapta Hasta nampak sangat menikmati lari kudanya, bahkan terkadang memperlambat lari kudanya dan mengajak turangga itu bermain dengan langkah-langkah yang rancak dan berseni, “Kuda yang bagus,” kata murid Panembahan Pamungkas sembari menepuk leher dan membelai rambut tunggangannya dan kuda Mataram itu telah menurut apa saja yang diperintahkan tuannya, permainan yang menyatukan jiwa itu masih berlanjut dan selanjutnya satu sikap yang akan membuat orang lain terkejut apabila melihatnya, saat itu itu tiba-tiba Agung Sedayu berteriak keras, “Mataram,” maka sontak saja kuda itu telah berdiri dengan meringkik hebat, dua kaki depannya lepas dari tanah dan siap menerjang siapa saja yang ada di hadapannya dan dalam sekejap kuda itu telah berderap melesat kencang dengan gagahnya, bagaikan seseorang yang kegirangan, Agung Sedayu pun menerjang kelam, seolah Panembahan Senopati pun telah hadir kembali menemaninya, sepertinya Raden Sutawijaya terlihat tersenyum bangga pada sahabatnya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 20
“Ki Tumenggung Sapta Hasta, saatnya telah tiba bagimu, tembang tantangan yang telah hadir sebagai pertanda khusus bagi sepasang Garuda Nglayang untuk memulai tugasnya, kita semua tidak mengetahui bakal terjadi peristiwa seperti ini, aku tidak pernah menduga bahwa kepergian Untaradira ke Menoreh akan membawa goresan luka kewadagan yang cukup parah, aku tidak menyangka bahwa Sunan Muria hadir dan terlibat dengan keluarga besar Ki Sadewa, bahkan tidak mengerti akan terjadinya kesepakatan memperebutkan Untara sebagai murid, tetapi percayalah dengan perkataan rajamu, Sinuhun Prabu Hanyakrawati telah bertitah kepadaku bahwa memang sudah saatnya Mataram melepas sepasang burung kebanggaannya dan membiarkan terbang kemanapun, jika nantinya burung itu bisa kita lihat karena kegagahan serta kekuatannya maka sejatinya Mataram memang memiliki kekuatan yang patut di banggakan, namun sebaliknya jika Sepasang Garuda itu ternyata mudah di taklukkan maka sebaiknya Mataram harus mengkaji ulang tentang kemampuannya,” kata Ki Patih mandaraka saat duduk hanya berdua dengan Agung Sedayu.
“Hamba Ki Patih.”
“Justru perintah itu datang dengan ketegasan seorang Raja, diperintahkan kepada Sepasang Garuda itu untuk menundukkan siapa saja yang tidak mau mengakui Mataram, melibat siapa saja yang mengusik sendi-sendi kehidupan bebrayan nan agung dan mengertilah Ki Tumenggung, bahwa menguatkan peradaban tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan pikiran yang terlontar dengan kemampuan bicara saja, tidak bisa hanya mengucapkan dalil-dalil dan mengajak semua orang itu setuju dengan setiap gagasan kebaikan, namun peradaban harus di jaga dan di kawal dengan sebuah kekuatan yang mumpuni dan Mataram akan segera memujudkan kekuatan yang akan mengejutkan Jawadwipa,” sambung Ki Patih Mandaraka.
“Mohon doa restu Ki Patih,” suara Agung Sedayu terdengar perlahan.
“Demi Mataram, pergilah Ki Tumenggung Sapta Hasta, doa dan restuku akan mengiringi perjalananmu.”
“Sebentar lagi wayah sirep bocah, rupanya guru telah berada di tempat itu, hamba mohon diri Ki Patih Mandaraka.”
Sejenak kemudian, Sapta Hasta telah berdiri dan berjalan menuju kuda yang telah dipersiapkan oleh seorang pekatik, seekor kuda yang tegar, setegar kuda Untara yang bernama Werkudara.
“Jika saja hamba bisa melayani Ki Tumenggung setiap saat, maka hamba merasa telah menjadi orang paling bahagia di seluruh jagad,” kata abdi itu.
“Ah.., engkau terlalu mengada-ada, akulah yang tidak pantas mendapatkan pelayanan yang berlebihan, terima kasih, aku mohon diri, Ki Supara,” kata Agung Sedayu berpamitan.
Sementara dari pendapa Ki Juru Martani memperhatikan semuanya, nampak orang tua itu tersenyum bangga, Mataram tidaklah mempunyai banyak orang yang bersikap seperti adik Untara itu, seorang yang rendah hati dan mampu bergaul dengan segenap lapisan rakyat Mataram, menyenangkan dan lembut tutur bahasanya, “Anakku tentu harus belajar dari kebesaran jiwa dan pekerti seorang Agung Sedayu, ilmunya yang telah menggetarkan langit tidak membuatnya angkuh dan berubah pandangan terhadap sesama.” Dan orang tua itu terlihat melambaikan tangan ketika melihat Agung Sedayu berlalu dengan membungkukkan badannya.
Sejatinya setelah keluar dari istana Mataram maka kuda itu telah berderap semakin lama semakin kencang, langkah panjang dan cepat telah mengantarkan penunggangnya membelah angin malam, Sapta Hasta nampak sangat menikmati lari kudanya, bahkan terkadang memperlambat lari kudanya dan mengajak turangga itu bermain dengan langkah-langkah yang rancak dan berseni, “Kuda yang bagus,” kata murid Panembahan Pamungkas sembari menepuk leher dan membelai rambut tunggangannya dan kuda Mataram itu telah menurut apa saja yang diperintahkan tuannya, permainan yang menyatukan jiwa itu masih berlanjut dan selanjutnya satu sikap yang akan membuat orang lain terkejut apabila melihatnya, saat itu itu tiba-tiba Agung Sedayu berteriak keras, “Mataram,” maka sontak saja kuda itu telah berdiri dengan meringkik hebat, dua kaki depannya lepas dari tanah dan siap menerjang siapa saja yang ada di hadapannya dan dalam sekejap kuda itu telah berderap melesat kencang dengan gagahnya, bagaikan seseorang yang kegirangan, Agung Sedayu pun menerjang kelam, seolah Panembahan Senopati pun telah hadir kembali menemaninya, sepertinya Raden Sutawijaya terlihat tersenyum bangga pada sahabatnya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 19
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 19
Perjalanan yang tidak terlalu jauh itu telah terselesaikan, Ki Patih Mandaraka telah menerima Untara dengan kening berkerut, darahnya meski perlahan telah terasa mendidih, namun orang tua itu masih bisa mengendalikan dirinya, apalagi dilihatnya Tumenggung Sapta Hasta masih terlihat tenang, sebuah hormat telah terucap dan wajah adik Untara itupun tersungging sebuah senyuman yang menyejukkan.
“Marilah, aku telah mempersiapkan gandok khusus untuk Tumenggung Untaradira,” tegas Ki Patih yang sudah terlalu sepuh itu.
Setelah semuanya selesai, Agung Sedayu masih terlihat berdiri di samping kakaknya, beberapa nasihat telah didengarnya.
“Agung Sedayu, aku mengerti kesulitanmu saat ini, bahwa lawanmu adalah kakak dari ayah kita, perasaan dan pikiran pastilah bertolak belakang, namun sebagai senopati perang Mataram dan juga sebagai kakak, maka aku wajib memberikan nasihat kepadamu, engkau harus lebih mementingkan dirimu sendiri dan aku akan terus bergantung dan mengikutimu, engkau adalah guru anom bagiku, maka tidak ada jalan lain kecuali menundukkan ki Puspa Ngasem, tundukkan dan kalahkan orang itu, engkau tidak boleh jatuh pada sifat ragu-ragu sebab jika sampai itu terjadi maka ilmu lawanmu akan dengan mudah menggilasmu dan itu sama artinya menggilasku pula, selalu ingatlah bahwa tugas besar telah menunggu kita, mengabdi kepada Mataram, negeri yang kita cintai.” Kata Untara mengalir pasti, memberi keteguhan niat dan tekad kepada adik satu-satunya.
Agung Sedayu terlihat menarik nafas dalam-dalam, hatinya telah terluka oleh keinginan guru Bagus Prapat itu, tetapi semuanya telah terjadi dan kesepakatan itu telah dibuat, serta gurunya telah menyetujui.
“Apa boleh buat, aku akan menyelamatkan namaku dan kakang Untara, pengabdian kepada Mataram tidak akan pernah berhenti oleh kecengangan yang menerpa sudut hati ini, Sapta Hasta akan berbuat sebaik-baiknya,” janjinya di dalam hati.
“Baiklah kakang, aku mengerti semua kata-katamu itu, tentu aku akan berusaha sekuat tenaga, aku mohon doa restumu kakang.”
“Pergilah Sedayu, ayah dan ibu akan selalu bangga terhadap sikap dan pencapaianmu, dan aku sebagai muridmu tentu tidak ingin melihat gurunya mengalami kesulitan, apalagi kalah, hanya satu yang kuinginkan Sedayu.”
“Katakan kakang.”
“Engkaulah yang terbaik di bumi Mataram, engkau harus menang dan kembali kepadaku dengan sebuah tuntunan, aku menunggumu.” Untaradira telah menatap wajah adiknya dengan sungguh-sungguh.
Nampak Agung Sedayu tersenyum, “Aku hanya manusia, aku hanyalah hambaNya, aku akan mohon pertolonganNya.”
“Pergilah sekarang, jangan biarkan Guru Panembahan menunggumu terlalu lama, aku memujanya seperti aku memuja ayah Sadewa, pergilah!”
Di mata Untaradira, adiknya bukanlah manusia yang haus akan sebuah kemenangan, Sedayu bukanlah orang yang ingin dipuja dan bukan pula manusia yang selalu berkeinginan untuk mengungguli orang lain, tetapi bila seseorang telah datang kepadanya dan menyampaikan suatu keburukan bahkan mengancam keselamatan jiwanya, maka Sapta Hasta tentu akan berubah menjadi momok bagi setiap lawannya, gelora samudra pastilah akan direngkuhnya, tingginya gunung pastilah akan di daki tanpa keraguan, Agung Sedayu adalah kebanggaannya.
Setelah berpamitan maka Ki Tumenggung Sapta Hasta telah berjalan melintasi ruangan tengah, memperhatikan keadaan sekeliling halaman Kepatihan dan duduk di pendapa menunggu kehadiran Ki Patih Mandaraka, pesan dan restu akan menjadi sandaran kekuatan tersendiri baginya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 19
Perjalanan yang tidak terlalu jauh itu telah terselesaikan, Ki Patih Mandaraka telah menerima Untara dengan kening berkerut, darahnya meski perlahan telah terasa mendidih, namun orang tua itu masih bisa mengendalikan dirinya, apalagi dilihatnya Tumenggung Sapta Hasta masih terlihat tenang, sebuah hormat telah terucap dan wajah adik Untara itupun tersungging sebuah senyuman yang menyejukkan.
“Marilah, aku telah mempersiapkan gandok khusus untuk Tumenggung Untaradira,” tegas Ki Patih yang sudah terlalu sepuh itu.
Setelah semuanya selesai, Agung Sedayu masih terlihat berdiri di samping kakaknya, beberapa nasihat telah didengarnya.
“Agung Sedayu, aku mengerti kesulitanmu saat ini, bahwa lawanmu adalah kakak dari ayah kita, perasaan dan pikiran pastilah bertolak belakang, namun sebagai senopati perang Mataram dan juga sebagai kakak, maka aku wajib memberikan nasihat kepadamu, engkau harus lebih mementingkan dirimu sendiri dan aku akan terus bergantung dan mengikutimu, engkau adalah guru anom bagiku, maka tidak ada jalan lain kecuali menundukkan ki Puspa Ngasem, tundukkan dan kalahkan orang itu, engkau tidak boleh jatuh pada sifat ragu-ragu sebab jika sampai itu terjadi maka ilmu lawanmu akan dengan mudah menggilasmu dan itu sama artinya menggilasku pula, selalu ingatlah bahwa tugas besar telah menunggu kita, mengabdi kepada Mataram, negeri yang kita cintai.” Kata Untara mengalir pasti, memberi keteguhan niat dan tekad kepada adik satu-satunya.
Agung Sedayu terlihat menarik nafas dalam-dalam, hatinya telah terluka oleh keinginan guru Bagus Prapat itu, tetapi semuanya telah terjadi dan kesepakatan itu telah dibuat, serta gurunya telah menyetujui.
“Apa boleh buat, aku akan menyelamatkan namaku dan kakang Untara, pengabdian kepada Mataram tidak akan pernah berhenti oleh kecengangan yang menerpa sudut hati ini, Sapta Hasta akan berbuat sebaik-baiknya,” janjinya di dalam hati.
“Baiklah kakang, aku mengerti semua kata-katamu itu, tentu aku akan berusaha sekuat tenaga, aku mohon doa restumu kakang.”
“Pergilah Sedayu, ayah dan ibu akan selalu bangga terhadap sikap dan pencapaianmu, dan aku sebagai muridmu tentu tidak ingin melihat gurunya mengalami kesulitan, apalagi kalah, hanya satu yang kuinginkan Sedayu.”
“Katakan kakang.”
“Engkaulah yang terbaik di bumi Mataram, engkau harus menang dan kembali kepadaku dengan sebuah tuntunan, aku menunggumu.” Untaradira telah menatap wajah adiknya dengan sungguh-sungguh.
Nampak Agung Sedayu tersenyum, “Aku hanya manusia, aku hanyalah hambaNya, aku akan mohon pertolonganNya.”
“Pergilah sekarang, jangan biarkan Guru Panembahan menunggumu terlalu lama, aku memujanya seperti aku memuja ayah Sadewa, pergilah!”
Di mata Untaradira, adiknya bukanlah manusia yang haus akan sebuah kemenangan, Sedayu bukanlah orang yang ingin dipuja dan bukan pula manusia yang selalu berkeinginan untuk mengungguli orang lain, tetapi bila seseorang telah datang kepadanya dan menyampaikan suatu keburukan bahkan mengancam keselamatan jiwanya, maka Sapta Hasta tentu akan berubah menjadi momok bagi setiap lawannya, gelora samudra pastilah akan direngkuhnya, tingginya gunung pastilah akan di daki tanpa keraguan, Agung Sedayu adalah kebanggaannya.
Setelah berpamitan maka Ki Tumenggung Sapta Hasta telah berjalan melintasi ruangan tengah, memperhatikan keadaan sekeliling halaman Kepatihan dan duduk di pendapa menunggu kehadiran Ki Patih Mandaraka, pesan dan restu akan menjadi sandaran kekuatan tersendiri baginya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18
Beberapa prajurit Mataram telah mengangkat tubuh Untara yang masih terlihat lemah dan mengusungnya masuk pada sebuah kereta yang telah di persiapkan, Agung Sedayu memandang wajah kakanya dengan perasaan getir, sementara Panembahan Pamungkas telah berbisik dan mengatakan sesuatu kepada Untara, “Aku berubah pikiran biarlah angger Sedayu pergi ke Mataram bersamamu, aku akan kembali ke Muria, untuk sementara lupakan Ki Puspa Ngasem, pusatkan perhatian kepada kesembuhan wadagmu anakmas, beberapa ramuan telah aku selipkan pada ikat pinggangmu dan nanti selama di Mataram angger Sedayu akan meminta seorang tabib Kepatihan untuk membuatkan ramuan atas petunjukku, semoga semua berjalan lancar dan anakmas akan pulih seperti sediakala.”
Untara dengan mata redup memandang wajah tua itu, sikap Panembahan Pamungkas benar-benar menyejukkan hatinya, bagai sikap seorang ayah yang benar-benar ingin melindungi anak-anaknya, seolah ayah Sadewa telah menjelma menjadi seorang Panembahan dan berdiri di sebelahnya dan tak terasa tangan Untara yang kekar itu telah meraih tangan tua itu dan berkata, “Semoga aku tidak membuat guru Panembahan kecewa dan pada sisa umurku aku berjanji akan membahagiakan Panembahan semampu dan sekuat tenagaku.”
Panembahan tua itu hanya tersenyum, wajah Untara tak ubahnya wajah Sadewa muridnya, “Semoga cepat sembuh anakmas, biarlah aku menunggu persoalan adikmu, jika semua selesai maka aku akan segera pergi ke Mataram, kita akan berkelana, aku akan mengawal secara utuh sepasang garuda kebanggaanku.”
Dan kepada Agung Sedayu orang tua itu berkata, “Pergilah ke Mataram, ceritakan apa adanya kepada Ki Patih Mandaraka dan setelah itu aku menunggumu di bukit Maguwo.”
Ki Tumenggung Sapta Hasta menganggukkan kepalanya, “Aku akan secepatnya menemui guru.”
“Pergilah.”
Agung Sedayu dengan taklim memohon diri kepada Kanjeng Sunan Muria dan selanjutnya mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu, sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.”
Ki Puspa Ngasem hanya menganggukkan kepalanya, maka perpisahan itupun segera terjadi, sekelompok prajurit Mataram telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke kota Raja dan dalam perjalanannya ternyata Panji Tohpati telah menggeram dan hatinya telah melontarkan sumpah serapah yang tidak berujung pangkal, kesempatan yang di duga telah di depan matanya, namun kini sebuah hambatan besar telah terbentang.
“Gila siluman itu ada di rombongan ini, apa yang harus aku perbuat?” pertanyaan itu bersarang di dada Panji Tohpati sepanjang perjalanan.
Di tempat terpisah Panembahan Pamungkas dan Kanjeng Sunan Muria juga telah meninggalkan Ki Puspa Ngasem dan cucunya kembali ke Muria.
Keheningan telah hadir kembali di dalam benak dan dada orang dari lembah Wonogiri itu, sementra cucunya telah duduk sembari menundukkan kepalanya, beberapa persoalan melintas di benak Bagus Prapat, tetapi anak muda itu tak mampu mengurainya dan satu hal yang telah di mengertinya bahwa ilmunya adalah sebuah tataran yang masih sangat dangkal dan menggelikan diantara belantara ilmu kanuragan sebenarnya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 18
Beberapa prajurit Mataram telah mengangkat tubuh Untara yang masih terlihat lemah dan mengusungnya masuk pada sebuah kereta yang telah di persiapkan, Agung Sedayu memandang wajah kakanya dengan perasaan getir, sementara Panembahan Pamungkas telah berbisik dan mengatakan sesuatu kepada Untara, “Aku berubah pikiran biarlah angger Sedayu pergi ke Mataram bersamamu, aku akan kembali ke Muria, untuk sementara lupakan Ki Puspa Ngasem, pusatkan perhatian kepada kesembuhan wadagmu anakmas, beberapa ramuan telah aku selipkan pada ikat pinggangmu dan nanti selama di Mataram angger Sedayu akan meminta seorang tabib Kepatihan untuk membuatkan ramuan atas petunjukku, semoga semua berjalan lancar dan anakmas akan pulih seperti sediakala.”
Untara dengan mata redup memandang wajah tua itu, sikap Panembahan Pamungkas benar-benar menyejukkan hatinya, bagai sikap seorang ayah yang benar-benar ingin melindungi anak-anaknya, seolah ayah Sadewa telah menjelma menjadi seorang Panembahan dan berdiri di sebelahnya dan tak terasa tangan Untara yang kekar itu telah meraih tangan tua itu dan berkata, “Semoga aku tidak membuat guru Panembahan kecewa dan pada sisa umurku aku berjanji akan membahagiakan Panembahan semampu dan sekuat tenagaku.”
Panembahan tua itu hanya tersenyum, wajah Untara tak ubahnya wajah Sadewa muridnya, “Semoga cepat sembuh anakmas, biarlah aku menunggu persoalan adikmu, jika semua selesai maka aku akan segera pergi ke Mataram, kita akan berkelana, aku akan mengawal secara utuh sepasang garuda kebanggaanku.”
Dan kepada Agung Sedayu orang tua itu berkata, “Pergilah ke Mataram, ceritakan apa adanya kepada Ki Patih Mandaraka dan setelah itu aku menunggumu di bukit Maguwo.”
Ki Tumenggung Sapta Hasta menganggukkan kepalanya, “Aku akan secepatnya menemui guru.”
“Pergilah.”
Agung Sedayu dengan taklim memohon diri kepada Kanjeng Sunan Muria dan selanjutnya mohon diri kepada kakak ayahnya, “Semoga pertemuan itu tidak membuat jurang pemisah diantara kita, meskipun aku belum pernah bertemu sebelumnya tetapi getar di dada ini merasakan sentuhan itu, sebenarnyalah aku tidak ingin bermusuhan terhadap siapapun, apalagi terhadap keluarga sendiri, keluarga besar Sadewa.”
Ki Puspa Ngasem hanya menganggukkan kepalanya, maka perpisahan itupun segera terjadi, sekelompok prajurit Mataram telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke kota Raja dan dalam perjalanannya ternyata Panji Tohpati telah menggeram dan hatinya telah melontarkan sumpah serapah yang tidak berujung pangkal, kesempatan yang di duga telah di depan matanya, namun kini sebuah hambatan besar telah terbentang.
“Gila siluman itu ada di rombongan ini, apa yang harus aku perbuat?” pertanyaan itu bersarang di dada Panji Tohpati sepanjang perjalanan.
Di tempat terpisah Panembahan Pamungkas dan Kanjeng Sunan Muria juga telah meninggalkan Ki Puspa Ngasem dan cucunya kembali ke Muria.
Keheningan telah hadir kembali di dalam benak dan dada orang dari lembah Wonogiri itu, sementra cucunya telah duduk sembari menundukkan kepalanya, beberapa persoalan melintas di benak Bagus Prapat, tetapi anak muda itu tak mampu mengurainya dan satu hal yang telah di mengertinya bahwa ilmunya adalah sebuah tataran yang masih sangat dangkal dan menggelikan diantara belantara ilmu kanuragan sebenarnya.
Sabtu, 12 Desember 2015
OGK : Pengumuman Kopdar 2016
OGK : Pengumuman Kopdar 2016
1. Pendaftaran Peserta akan segera ditutup pada tanggal 15 Desember 2015
2. Pelunasan biaya KOPDAR adalah sampai tanggal 15 Januari 2016
3. Bagi Peserta yang ingin hadir "mendadak" mohon konfirmasi kepada Bendahara Nyi Sri Handayani
untuk penjelasan tehnisnya karena tetap akan "menyangkut" pada persiapan panitya
secara keseluruhan, mohon maklum njih ndoro.
4. Panitya telah "menyiapkan" hotel atau tempat menginap bagi peserta KOPDAR yang membutuhkannya,
dengan panduan HARGA per malam sbb : Hotel Gemah Ripah Yogyakarta
1. Kamar std / AC / isi 2 orang....Rp 200.000,- ( ada 10 kamar )
2. Kamar std / AC / isi 2 orang.....Rp 250.000,- ( ada 10 kamar )
3. Kamar deluxe / AC / isi 3 orang.....Rp 300.000,- ( ada 13 kamar )
4. Kamar family / AC / isi 4 orang.....Rp 400.000,- ( ada 2 kamar )
Silahkan yang berminat bisa mengubungi Ki Muchyanto Muchtarom atau Nyi Sri Handayani
** Sampai hari ini jumlah kamar yang sudah terbooking oleh panitya untuk peserta KOPDAR
sebanyak 15 kamar ( 10 kamar deluxe dan 5 kamar std AC )**
5. Bagi peserta yang datang sendiri, dapat menginap di hotel, dengan cara "Bergabung" dengan peserta lainnya dan panitya akan membantu untuk mencarikan gabungan / pasangan peserta lainnya.
Demikian, monggo segera daftar....kumpul sesarengan ndoro.
Salam
Ki AM
1. Pendaftaran Peserta akan segera ditutup pada tanggal 15 Desember 2015
2. Pelunasan biaya KOPDAR adalah sampai tanggal 15 Januari 2016
3. Bagi Peserta yang ingin hadir "mendadak" mohon konfirmasi kepada Bendahara Nyi Sri Handayani
untuk penjelasan tehnisnya karena tetap akan "menyangkut" pada persiapan panitya
secara keseluruhan, mohon maklum njih ndoro.
4. Panitya telah "menyiapkan" hotel atau tempat menginap bagi peserta KOPDAR yang membutuhkannya,
dengan panduan HARGA per malam sbb : Hotel Gemah Ripah Yogyakarta
1. Kamar std / AC / isi 2 orang....Rp 200.000,- ( ada 10 kamar )
2. Kamar std / AC / isi 2 orang.....Rp 250.000,- ( ada 10 kamar )
3. Kamar deluxe / AC / isi 3 orang.....Rp 300.000,- ( ada 13 kamar )
4. Kamar family / AC / isi 4 orang.....Rp 400.000,- ( ada 2 kamar )
Silahkan yang berminat bisa mengubungi Ki Muchyanto Muchtarom atau Nyi Sri Handayani
** Sampai hari ini jumlah kamar yang sudah terbooking oleh panitya untuk peserta KOPDAR
sebanyak 15 kamar ( 10 kamar deluxe dan 5 kamar std AC )**
5. Bagi peserta yang datang sendiri, dapat menginap di hotel, dengan cara "Bergabung" dengan peserta lainnya dan panitya akan membantu untuk mencarikan gabungan / pasangan peserta lainnya.
Demikian, monggo segera daftar....kumpul sesarengan ndoro.
Salam
Ki AM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 17
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 17
Sebenarnyalah suara derap kuda itu semakin jelas terdengar, gemeretak perpuluh pasang kaki kuda menghantam bumi dengan irama yang ajeg, seorang yang berdada bidang nampak berpacu di paling depan, selempang warna merah telah menandakan jenjang keprajuritannya dalam tugas sebenarnya sebagai prajurit Mataram.
Dengan satu lompatan ringan senopati itu turun dari kudanya dan memberi salam kepada semua yang hadir menunggu Ki Tumenggung Untaradira yang masih terduduk lemah.
“Panji Tohpati datang menjemput Ki Tumenggung Untaradira, perintah datang dari Kepatihan Mataram,” Ucap senopati setengah baya itu dengan suara yang berat.
Kanjeng Sunan Muria justru bergeser surut dan memberi kesempatan kepada Panembahan Pamungkas untuk menjawab perkataan senopati yang baru datang itu.
“Angger Sedayu uruslah sebagaimana mestinya, aku merasa tidak pantas berhadapan dengannya, biarlah kami para orang tua ini menepi barang sejenak,” kata Panembahan Pamungkas perlahan.
Sejenak Tumenggung Sapta Hasta memandang wajah kakaknya, senyuman kecil Untaradira telah membuat hatinya mengembang, bagi suami Sekar Mirah Untaradira adalah segala-galanya, seorang kakak yang sekaligus pengganti kedua orang tuanya dan dengan langkah kecil maka murid Kyai Gringsing itu telah bergeser mendekati Panji Tohpati, “Terima kasih Panji Tohpati, kami semua akan menyerahkan kakang Untara kepada prajurit Mataram yang seterusnya akan di bawa menuju istana Kepatihan untuk mendapatkan perawatan seperlunya.”
Panji Tohpati tersenyum dan membungkukkan badannnya, seraya berkata, “Kami akan mengurus dan menyerahkan Ki Tumenggung Untaradira kepada Ki Patih Mandaraka, tiada kewajiban lainnya kecuali itu.”
“Lakukan perintah itu sebaik-baiknya Panji Tohpati.” Seru Tumenggung Sapta Hasta.
“Baiklah Ki Tumenggung, namun siapakah yang berani dan sudah mengalahkan Ki Tumenggung Untaradira yang perkasa itu?” Tanya Panji Tohpati kemudian.
Sebuah pertanyaan yang membuat hati Agung Sedayu berdebar-debar, dengan cepat telah dicari jawabannya, “Kami tidak mengetahuinya dengan jelas siapa yang menyerang kakang Untara, mereka berkelompok dan saat kami datang mereka telah lenyap melarikan diri.”
“Jadi mereka menyerang dengan sekelompok orang pilihan dan kemudian menghilang saat melihat Ki Tumenggung datang?”
“Benar, sudahlah! Besok aku akan menjelaskan semuanya kepada Ki Patih Mandaraka, tugasmu adalah membawanya kembali ke Mataram, itu saja.”
“Apkah seorang Tumenggung demikian mudahnya di kalahkan oleh sekelompok orang atau mungkin Ki Tumenggung kurang waspada, kemungkinan lain adalah Ki Tumenggung Untaradira memang harus meningkatkan lagi kemampuannya, sebab saat ini banyak sekali Tumenggung yang berpangkat serta berderajat namun kurang memiliki kemampuan.” kata Panji Tohpati perlahan.
Tumenggung Sapta Hasta segera mengerutkan keningnya dalam-dalam, hatinya yang telah mulai terang telah mendapat ujian sekali lagi, “Panji Tohpati, jaga bicaramu! Jangan mencoba menilai siapa kami, bukanlah menjadi urusanmu, kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenali orang lain, di belakangku berdiri beberapa orang yang sangat aku hormati, Kanjeng Sunan Muria dan Panembahan Pamungkas, jangan memancing keadaan yang sama sekali tidak engkau mengerti, atau aku akan melenyapkan seluruh pasukanmu dan mengirim pulang namamu.”
Hentakan kata Senopati pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar membuatnya tersadar, matanya tiba-tiba terbelalak ketika ingatannya kembali pada kewajaran, Agung Sedayu adalah hantu bagi setiap musuh Mataram.
“Ampun, mohon ampun Ki Tumenggung, hamba hanya terpancing oleh perasaan marah kepada para penyerang Ki Tumenggung Untaradira.” Ujarnya cepat dan tersendat-sendat.
“Lakukan tugasmu sebaik-baiknya, aku akan melihat hasilnya.”
“Siyaga Ki Tumenggung.”
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 17
Sebenarnyalah suara derap kuda itu semakin jelas terdengar, gemeretak perpuluh pasang kaki kuda menghantam bumi dengan irama yang ajeg, seorang yang berdada bidang nampak berpacu di paling depan, selempang warna merah telah menandakan jenjang keprajuritannya dalam tugas sebenarnya sebagai prajurit Mataram.
Dengan satu lompatan ringan senopati itu turun dari kudanya dan memberi salam kepada semua yang hadir menunggu Ki Tumenggung Untaradira yang masih terduduk lemah.
“Panji Tohpati datang menjemput Ki Tumenggung Untaradira, perintah datang dari Kepatihan Mataram,” Ucap senopati setengah baya itu dengan suara yang berat.
Kanjeng Sunan Muria justru bergeser surut dan memberi kesempatan kepada Panembahan Pamungkas untuk menjawab perkataan senopati yang baru datang itu.
“Angger Sedayu uruslah sebagaimana mestinya, aku merasa tidak pantas berhadapan dengannya, biarlah kami para orang tua ini menepi barang sejenak,” kata Panembahan Pamungkas perlahan.
Sejenak Tumenggung Sapta Hasta memandang wajah kakaknya, senyuman kecil Untaradira telah membuat hatinya mengembang, bagi suami Sekar Mirah Untaradira adalah segala-galanya, seorang kakak yang sekaligus pengganti kedua orang tuanya dan dengan langkah kecil maka murid Kyai Gringsing itu telah bergeser mendekati Panji Tohpati, “Terima kasih Panji Tohpati, kami semua akan menyerahkan kakang Untara kepada prajurit Mataram yang seterusnya akan di bawa menuju istana Kepatihan untuk mendapatkan perawatan seperlunya.”
Panji Tohpati tersenyum dan membungkukkan badannnya, seraya berkata, “Kami akan mengurus dan menyerahkan Ki Tumenggung Untaradira kepada Ki Patih Mandaraka, tiada kewajiban lainnya kecuali itu.”
“Lakukan perintah itu sebaik-baiknya Panji Tohpati.” Seru Tumenggung Sapta Hasta.
“Baiklah Ki Tumenggung, namun siapakah yang berani dan sudah mengalahkan Ki Tumenggung Untaradira yang perkasa itu?” Tanya Panji Tohpati kemudian.
Sebuah pertanyaan yang membuat hati Agung Sedayu berdebar-debar, dengan cepat telah dicari jawabannya, “Kami tidak mengetahuinya dengan jelas siapa yang menyerang kakang Untara, mereka berkelompok dan saat kami datang mereka telah lenyap melarikan diri.”
“Jadi mereka menyerang dengan sekelompok orang pilihan dan kemudian menghilang saat melihat Ki Tumenggung datang?”
“Benar, sudahlah! Besok aku akan menjelaskan semuanya kepada Ki Patih Mandaraka, tugasmu adalah membawanya kembali ke Mataram, itu saja.”
“Apkah seorang Tumenggung demikian mudahnya di kalahkan oleh sekelompok orang atau mungkin Ki Tumenggung kurang waspada, kemungkinan lain adalah Ki Tumenggung Untaradira memang harus meningkatkan lagi kemampuannya, sebab saat ini banyak sekali Tumenggung yang berpangkat serta berderajat namun kurang memiliki kemampuan.” kata Panji Tohpati perlahan.
Tumenggung Sapta Hasta segera mengerutkan keningnya dalam-dalam, hatinya yang telah mulai terang telah mendapat ujian sekali lagi, “Panji Tohpati, jaga bicaramu! Jangan mencoba menilai siapa kami, bukanlah menjadi urusanmu, kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenali orang lain, di belakangku berdiri beberapa orang yang sangat aku hormati, Kanjeng Sunan Muria dan Panembahan Pamungkas, jangan memancing keadaan yang sama sekali tidak engkau mengerti, atau aku akan melenyapkan seluruh pasukanmu dan mengirim pulang namamu.”
Hentakan kata Senopati pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar membuatnya tersadar, matanya tiba-tiba terbelalak ketika ingatannya kembali pada kewajaran, Agung Sedayu adalah hantu bagi setiap musuh Mataram.
“Ampun, mohon ampun Ki Tumenggung, hamba hanya terpancing oleh perasaan marah kepada para penyerang Ki Tumenggung Untaradira.” Ujarnya cepat dan tersendat-sendat.
“Lakukan tugasmu sebaik-baiknya, aku akan melihat hasilnya.”
“Siyaga Ki Tumenggung.”
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 16
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 16
“Bagaimana
jika aku mengatakan bahwa Kitab Jati Wangi akan dijadikan pedoman untuk menapak
puncak ilmu itu? Dan Agung Sedayu tentu akan bisa memecahkan teka-teki itu,”
sahut Sunan Muria.
“Dua hal
yang sangat memungkinkan, demi kemajuan ilmu anakmas Untara maka aku tetap pada
niatku awal, memberikan segala ilmu kepadanya, jika ada orang lain yang akan
memaksakan kehendak kepadaku maka akupun akan bersiap membuktikan diri sebagai pewaris tunggal ilmu trah Harya
Sadewa, jelasnya aku akan melihat dan mengukur kepantasan ilmu yang akan
diterima oleh Untara, jika mampu mengalahkanku maka aku siap membantu
sepenuhnya namun sebaliknya jika aku menang maka Untara akan berada dalam
asuhanku, jalur kakeknya sendiri.”
Panembahan
Pamungkas hanya dapat menarik nafas perlahan-lahan, segera pandangannya tertuju
kepada muridnya yang berdiri berseberangan, tatapan mata Agung Sedayu seolah
melontarkan berpuluh pertanyaan yang harus segera mendapat jawaban.
“Baiklah Ki
Puspa Ngasem, aku telah hadir sebagaimana yang telah dikehendaki oleh waktu, dengan
dua tanganku telah mendekap sepasang garuda itu sejak masih anak-anak, pikiran dan
hatiku telah tercurah demi pesan muridku yang pertama bernama Sadewa, namun ketika
sepasang garuda itu telah mampu terbang maka engkau datang dan mencoba menangkapnya
dengan tujuan kebaikan dan salah satu garudaku telah engkau jinakkan, aku memang
mengagumimu Panca Sadewa,” Kata Panembahan Pamungkas runtut dan mengalir seperti
derasnya sungai Praga di musim penghujan, berhenti sejenak dan menarik nafas perlahan,
seterusnya, “Namun garuda mudaku belum dapat engkau jinakkan, berbuatlah sebaik-baiknya
bila ingin menangkapnya, sebagai induknya aku akan memberikan waktu secukupnya bagi
siapapun yang ingin mencoba menangkapnya, namun demikian aku juka mengingatkan bahwa
garuda mudaku telah memiliki kuku tajam pada setiap cakarnya, jangan menyalahkan
siapapapun jika ternyata kuku itu menyayat dan membuat luka dan jangan meratap bila
paruhnya akan mencabik apa saja, siapapun yang mencoba menghalangi kebebebasannya
tentu akan menanggung akibatnya.”
“Hem..,” desah
Sunan Muria perlahan.
“Aku sebagai
Pamungkas akan menjadi saksi perburuan itu, jika kemudian terjadi kelicikan maka
aku tidak akan segan-segan menghancurkan setiap lawanku seperti aku menghancurkan
semua pendukung Sunan Kudus ataupun Haryo Penangsang, apakau engkau mengerti Panca
Sadewa.” Terdengar suara Kyai Gringsing berat.
Mata Panca
Sadewa seperti berkunang-kunang melihat wajah tua yang berdiri di samping Sunan
Muria itu, Harya Sadewa pernah bercerita tentang seorang anak muda aneh bersenjatakan
cambuk, ilmunya seaneh ilmu Mas Karebet Baginda raja Pajang, ilmu dari beberapa
orang yang pinunjul ing apapak telah lebur dan luluh menjadi satu.
”Aku akan
dengan mudah di kalahkannya, namun tidak dengan Sedayu adik Untara yang cengeng
ini, nasib Untara harus menjadi lebih baik, ilmunya harus meningkat,” gumamnya dalam
hati.
“Apakah engkau
mengerti apa yang kukatakan Panca Sadewa?” tanya Panembahan Pamungkas sekali lagi
membuyarkan lamunan orang dari Lembah Wonogiri itu, wajah tua itu nampak mengeras.
“Mengerti
Panembahan, aku berjanji sebagai laki-laki.” sahut Ki Puspa Ngasem.
“Baiklah,
saat wayah sepi wong, garuda muda itu menunggumu di gumuk Maguwo tidak terlalu jauh
dengan Kerto Jati, dan sekarang saatnya aku akan menerima pasukan kecil Mataram
yang menjemput angger Untara,” dan kepada sahabat yang sekaligus gurunya Panembahan
Pamungkas pun berkata, “Setelah pasukan Kepatihan itu datang maka hamba dan angger
Sedayu akan mengantarkan pulang ke Muria terlebih dahulu sebelum hadir ke Maguwo.”
Sunan Muria
hanya tersenyum sedih, hatinya merasakan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Panembahan
tua itu.
Jumat, 11 Desember 2015
RUNDOWN KOPDAR AKBAR YOGYAKARTA 6 - 7 Februari 2016
RUNDOWN KOPDAR AKBAR YOGYAKARTA
6 - 7 Februari 2016
HARI I, SABTU 6 FEBRUARI 2016
15.00 – 17.30 Registrasi, bercengkerama bersama, gojekan
17.30 – 18.15 Persiapan dan sholat magrib berjamaah
18.15 – 19.00 Santap malam
19.00 – 19.30 Pembukaan acara Kopdar Akbar 2016
- Sambutan Ketua Panitia
- Sambutan wakil CM (Ki Yuli Mardiyono)
19.30 – 20.00 Persembahan lagu (2 lagu : Lir Ilir dan tembang Jaya Mataram)
20.00 – 21.00 Sambung rasa dengan Keluarga Mendiang SH Mintardja
21.00 – 24.00 Campur sari : menampilkan tokoh-tokoh Padepokan, hiburan, gojek gayeng ala MDLM
6 - 7 Februari 2016
HARI I, SABTU 6 FEBRUARI 2016
15.00 – 17.30 Registrasi, bercengkerama bersama, gojekan
17.30 – 18.15 Persiapan dan sholat magrib berjamaah
18.15 – 19.00 Santap malam
19.00 – 19.30 Pembukaan acara Kopdar Akbar 2016
- Sambutan Ketua Panitia
- Sambutan wakil CM (Ki Yuli Mardiyono)
19.30 – 20.00 Persembahan lagu (2 lagu : Lir Ilir dan tembang Jaya Mataram)
20.00 – 21.00 Sambung rasa dengan Keluarga Mendiang SH Mintardja
21.00 – 24.00 Campur sari : menampilkan tokoh-tokoh Padepokan, hiburan, gojek gayeng ala MDLM
HARI II, 7 FEBRUARI 2016
05.30 – 06.00 Persiapan tour, berkumpul dan masuk ke kendaraan yang disediakan
06.00 – 06.15 Perjalanan menuju Kota Gede
06.15 – 07.45 HESS atau JALAN PAGI telusur sejarah
07.45 – 08.30 Makan pagi box di lokasi
08.30 – 09.30 Tour ke Makam Raja-raja Mataram
09.30 – 13.00 Wisata Gua Pindul Karangmojo, Wonosari
13.00 – 15.00 Kembali ke Yogyakarta dan Santap siang Box
15.00 – 16.00 Tour di Wot Galeh, penutupan acara KOPDAR
16.00 - Pengantaran peserta : Kembali Ke hotel dan Terminal Bis, stasiun, atau Bandara - SELESAI
ACARA UTAMA KOPDAR SELESAI
@catatan : Jawa Holiday akan membantu melayani para peserta yang masih tinggal di Yogyakarta dan berkinginan menikmati keindahan obyek wisata lainnya.
05.30 – 06.00 Persiapan tour, berkumpul dan masuk ke kendaraan yang disediakan
06.00 – 06.15 Perjalanan menuju Kota Gede
06.15 – 07.45 HESS atau JALAN PAGI telusur sejarah
07.45 – 08.30 Makan pagi box di lokasi
08.30 – 09.30 Tour ke Makam Raja-raja Mataram
09.30 – 13.00 Wisata Gua Pindul Karangmojo, Wonosari
13.00 – 15.00 Kembali ke Yogyakarta dan Santap siang Box
15.00 – 16.00 Tour di Wot Galeh, penutupan acara KOPDAR
16.00 - Pengantaran peserta : Kembali Ke hotel dan Terminal Bis, stasiun, atau Bandara - SELESAI
ACARA UTAMA KOPDAR SELESAI
@catatan : Jawa Holiday akan membantu melayani para peserta yang masih tinggal di Yogyakarta dan berkinginan menikmati keindahan obyek wisata lainnya.
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 14
TALI RASA ADBM-MDLM
SEPASANG GARUDA JILID 20 BAB 14
Sunan
Muria tersenyum dengan wajah yang tenang telah berkata, “Kisah manusia
yang selalu saja mempunyai kemiripan dengan kisah manusia lainnya dan
sekarang seorang Panca Sadewa merubah namanya menjadi Puspa Ngasem telah
kembali mencari Untara, masuk menjelajah Mataram untuk memperbaiki
kesalahan.”
Untara dan Agung Sedayu memperhatikan semua
pembicaraan itu dengan seksama, jantung terasa berdetak lebih kencang
sementara keringat dingin mulai mengembun di punggung, cerita runtun itu
telah membuat kebimbangan dan menimbulkan rasa ingin tahu tentang Jati
diri Kyai Puspa Ngasem.
Sementara itu Panembahan Pamungkas tengah
sibuk membenahi tubuh Untara yang sejatinya telah mengalami perubahan
yang menggembirakan.
“Guru Panembahan, apakah yang dikatakan Kyai Puspa Ngasem benar adanya?” tanya Untara.
Panembahan Pamungkas nampak tersenyum dan menjawab, “Aku kurang mengerti anakmas, biarlah Kanjeng Sunan yang menyelesaikannya.”
Untara mengerutkan keningnya sejenak, namun tak berkata apapun,
perhatiannya kembali tertuju kepada pembicaraan Sunan Muria dan Ki
Panca Sadewa.
Pandangan Raden Umar Said mengarah pada sahabat dan
muridnya, masih terlihat wajahnya yang damai, “Ki Panca Sadewa, apakah
selama ini engkau belum pernah mendengar tentang siapa yang mengungsikan
keluarga anakmas Untara itu?”
“Akhirnya aku mendapat jawaban
yang cukup menyakinkan bahwa keluarga adikku telah berada di bawah
perlindungan orang bercambuk, namun sejujurnya hingga kini aku belum
sempat bertemu dengannya, Kanjeng Sunan.”
Suara tertawa kecil
dari seorang Sunan Muria telah menyentak semua dada dan pikiran
orang-orang yang berada di sekitarnya, “Raden Pamungkas, Kyai Gringsing
dan Ki Tanu Metir, tidak baik bagimu untuk selalu berdiam diri, kami
semua ingin mendengarkan penjelasanmu, mengapa Panembahan sangat
menyayangi Untara dan Agung Sedayu?"
Perkataan Sunan Muria sangat
mengejutkannya, meski sebelumnya telah menduga bahwa semuanya itu akan
mengarah kepadanya, sebuah keadaan yang tidak terelakkan lagi, maka Ki
Tanu Metir itupun telah mengangkat wajahnya dan berdiri menghadap Sunan
Muria dan Panca Sadewa, beberapa kali menarik nafas dan berkata, “Umurku
telah terlalu tua untuk bersembunyi lagi, Kisanak putra Harya Sadewa,
benar adanya bahwa akulah penggembala itu, akulah manusia bercambuk itu
dan sebenarnyalah bahwa Ki Sadewa ayah Untara adalah sahabat sekaligus
muridku, sebenarnya murid saat aku mengenakan topeng jelek, tentu
kepergiannya telah menggoreskan luka di dada ini dan telah menjadi
kewajibanku untuk menjaga keluarga kecil itu.”
“Oh….., yang Maha
Kuasa telah memberiku penerang, terima kasih Panembahan, tiada aku
menyangka bahwa orang bercambuk itu adalah Raden, sembah dan bakti dari
seluruh keluarga besar Sadewa, ayah Harya Sadewa telah mengenal jalur
Empu Windujati.” kata orang tua dari Wonogiri itu sembari membungkukkan
badannya.
Langganan:
Komentar (Atom)
